<<<>>>
- Thaharah secara bahasa adalah bersihnya dari kotoran, sedangkan secara istilah adalah mengangkat hadats dan hilangnya najis.
- Berwudhu bagi orang yang berhadats kecil apabila dia ingin mengerjakan shalat, atau ingin beraktivitas yang status hukumnya sama seperti shalat semacam thawaf dan menyentuh mushaf, hukumnya wajib.
- Mandi karena junub memiliki dua tata cara yaitu tata cara yang dianjurkan (ideal) dan tata cara yang mencukupi (minimalis).
- Tayammum adalah jenis bersuci dengan menggunakan debu sebagai pengganti air.
5. Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh syariat dan dituntut untuk menjauhinya.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”
(Q.S. Al-Maidah: 6).
<<<>>>
Tidak diragukan lagi bahwa di antara ibadah yang paling mulia kedudukannya dalam agama Islam adalah shalat. Namun shalat tidak akan bisa dikerjakan melainkan setelah menunaikan syarat-syaratnya terlebih dahulu. Dan di antara syarat yang paling ditekankan dan merupakan kunci pembuka shalat adalah berthaharah.
Jenis-Jenis Thaharah
Penggunaan istilah thaharah dalam syariat ada dua macam, yaitu:
Pertama, secara abstrak (thaharah ma’nawiyyah), yaitu membersihkan hati dari kemusyrikan, maksiat, dan segala sesuatu yang menjadi noda pada hati. Dan semestinya membersihkan kotoran ini lebih diperhatikan daripada membersihkan badan karena thaharah badan tidak mungkin terwujud jika dia adalah seorang musyrik. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (Q.S. At-Taubah: 28).
Kedua, secara konkrit (thaharah hissiyyah), inilah yang dimaksudkan dalam pembahasan-pembahasan ilmu Fiqih.
Definisi Thaharah
Thaharah secara bahasa adalah bersihnya dari kotoran, sedangkan secara istilah adalah mengangkat hadats dan hilangnya najis.
- Yang dimaksud dengan “mengangkat hadats” yaitu menghilangkan suatu sifat abstrak yang bisa mencegah untuk shalat dengan menggunakan air. Jika hadats besar maka diguyurkan ke semua badan (mandi junub, –pen). Jika hadats kecil maka cukup melewatkan air pada anggota wudhu dengan niat (wudhu, –pen). Jika tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya maka digantikan dengan debu (tayammum, –pen) sesuai tata cara yang dituntunkan oleh syariat.
- Yang dimaksud dengan “hilangnya najis” adalah hilangnya najis-najis yang ada pada badan, pakaian, dan tempat.
Tata Cara Berwudhu dan Pembatal-Pembatal Wudhu
Berwudhu bagi orang yang berhadats kecil apabila dia ingin mengerjakan shalat, atau ingin beraktivitas yang status hukumnya sama seperti shalat semacam thawaf dan menyentuh mushaf, hukumnya wajib. Orang yang tidak berhadats atau yang wudhu sebelumnya belum batal maka tidak wajib berwudhu.
Tata cara berwudhu adalah sebagai berikut :
- Berniat menghilangkan hadats atau berniat berwudhu untuk mengerjakan shalat atau amal ibadah lainnya. Niat merupakan syarat bagi setiap amal, baik thaharah ataupun yang lainnya;
- Membaca “Bismillah”;
- Mencuci kedua telapak tangan sebanyak tiga kali;
- Berkumur-kumur sekaligus memasukkan air ke dalam hidung dengan tiga cidukan tangan;
- Membasuh wajah tiga kali;
- Membasuh kedua tangan hingga kedua siku sebanyak tiga kali;
- Mengusap kepala. Dimulai dari bagian depan lalu ditarik hingga bagian belakang kepala, kemudian kembali lagi ke depan. Ini cukup dilakukan sekali; Kemudian memasukkan jari telunjuk ke lubang telinga dan mengusap bagian luarnya dengan ibu jari;
- Membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki sebanyak tiga kali.
Perkara-perkara di atas yang wajib dilakukan :
- Masing-masing sekali secara tertib dan berurutan sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Jalla wa ‘Alaa (yang artinya):
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (Q.S. Al-Maidah: 6).
- Tidak boleh menyelangi (memisahkan) satu dengan yang lain dalam waktu yang lama hingga masing-masing tidak terangkai menjadi satu kesatuan.
Pembatal-pembatal wudhu :
- Sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) baik kencing atau kotoran (tinja) itu sendiri maupun yang lainnya seperti mani, madzi, darah istihadhah, ataupun kentut, baik dalam jumlah yang sedikit ataupun banyak;
- Keluarnya najis dari bagian badan yang lain. Jika itu kencing dan kotoran maka membatalkan wudhu secara mutlak. Adapun darah dan muntah bisa membatalkan wudhu jika keluarnya dalam jumlah yang banyak;
- Hilangnya akal karena gila, pingsan, atau tertidur;
- Menyentuh kemaluan tanpa adanya penghalang;
- Memakan daging unta;
- Murtad dari Islam;
Hal-Hal yang Mewajibkan Mandi dan Tata Cara Mandi
Mandi hukumnya wajib bagi seseorang yang menjumpai pada dirinya ada sebab-sebab yang mewajibkannya mandi. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Jika kamu junub, maka mandilah.” (Q.S. Al-Maidah : 6)
Di antara hal-hal yang mewajibkan mandi adalah sebagai berikut :
- Keluarnya air mani dengan cara memancar dan terasa sensasi nikmat, baik itu karena jima’ atau yang lainnya. Adapun ketika tidur maka tidak disyaratkan harus terasa sensasi nikmat, karena boleh jadi dia tidak merasakannya;
- Bertemunya dua khitan (kemaluan);
- Orang kafir yang masuk Islam ;
- Berhentinya darah haidh dan darah nifas;
- Kematian selain mati syahid (dengan makna jenazah tersebut wajib untuk dimandikan).
Mandi karena junub memiliki dua tata cara yaitu tata cara yang dianjurkan (ideal) dan tata cara yang mencukupi (minimalis).
- Tata cara yang ideal yaitu dengan cara membasuh kedua telapak tangannya, lalu membasih kemaluannya dan membersihkan kotoran-kotoran yang ada di kemaluannya, lalu berwudhu seperti wudhu yang dia lakukan ketika ingin shalat, lalu menyela-nyelai rambut di kepalanya dengan air di tangannya sampai kulit kepalanya ikut terkena air, lalu mengguyur kepalanya dengan tiga kali guyuran. Setelah itu meratakan air ke sisa badannya yang lain.
- Adapun tata cara yang minimalis adalah meratakan air ke seluruh badannya dengan mengawalinya dengan niat.
Tayammum dan Tata Caranya
Tayammum adalah jenis bersuci dengan menggunakan debu sebagai pengganti air. Tayammum hanya diperbolehkan jika ada udzur misalnya dia tidak menjumpai air atau khawatir tertimpa bahaya atau mudharat akibat menggunakannya, seperti ketika luka, dingin yang membahayakan.
Adapun tata cara bertayammum adalah sebagai berikut :
- Berniat menghilangkan hadats
- Membaca basmalah
- Menepukkan kedua tangannya ke tanah satu kali
- Mengusap seluruh wajah dan telapak tangan bagian atas dengan tangan yang telah berdebu itu.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (Q.S. Al-Maidah : 6).
Najis dan Tata Cara Menghilangkannya
Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh syariat dan dituntut untuk menjauhinya. Jenis-jenis najis:
- Najis mughallazhah (berat). Ada satu jenis najis mughallazhah yaitu najis anjing. Cara mensucikannya adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah;
- Najis mukhaffafah (ringan). Ada dua jenis najis mukhaffafah yaitu kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI dan air madzi (cairan yang berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’). Cara mensucikannya adalah dengan memercikkan air di atasnya;
- Najis mutawassithah (sedang). Najis-najis mutawassithah yaitu najis-najis selain najis mughalladzhah dan mukhaffafah. Cara mensucikannya adalah cukup dengan menghilangkan najis tersebut dari tempatnya tanpa ada syarat jumlah tertentu berapa kali mencucinya.
Beberapa contoh-contoh najis-najis mutawassithah:
- Kencing dan kotoran manusia
- Darah yang memancar
- Kencing dan kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya, seperti kotoran anjing dan babi.
- Bangkai yaitu hewan yang mati sendiri tanpa disembelih secara syar’i. Dikecualikan darinya mayat manusia, bangkai ikan, bangkai belalang, dan bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir, seperti lalat, nyamuk, dan kutu
- Darah haidh
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata, “Cara menyucikan badan, pakaian, lantai, dan sebagainya yang terkena najis, cukup dengan menghilangkan najis dari tempatnya. Karena di dalam syariat tidak diisyaratkan untuk mencucinya berkali-kali, kecuali jika terkena najis anjing yang diisyaratkan mencucinya sebanyak tujuh kali, dan salah satunya dengan menggunakan tanah.” (Manhajus Salikin wa Taudhihul Fiqhi fid Din).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di juga menjelaskan bahwa jika najis telah hilang, dengan cara apapun hilangnya baik dengan air atau yang lainnya, maka benda itu telah suci. Demikian juga bila kotoran-kotorannya hilang atau berubah sifat dan wujudnya menjadi suci maka benda itu telah dianggap suci. (Al-Mukhtarat Al-Jaliyyah, hal. 22)
Jika dzat najis itu telah terangkat (hilang), maka hukumnya telah suci meskipun masih ada bekas warna ataupun baunya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Khaulah binti Yasar radhiyallahu ‘anha tentang darah haidh:
“Cukup engkau mencucinya dengan air dan tidaklah masalah jika berbekas.” (H.R.Ahmad (II/364, 380), Abu Dawud no. 365).
Ditulis oleh: Zulfahmi Djalaluddin, S.Si. (Alumni Mahad Al-‘Ilmi Yogyakarta)
Murajaah: Ustaz Abu Salman, B.I.S.